DEATHCASTLE
#LOOCALISM : 1st Writing Event.
#16SHOT, tidak ada hubungannya dengan plot utama.
○●○
Budapest, January 2020.
“CHAAANNNNN, main truth or dare ayo?!” Antara berteriak dari luar kamar Rachan, kemudian membuka pintu dan langsung masuk kamar Rachan tanpa seizinnya. Menyebalkan, bukan?
“Ayo, tapi kok tiba-tiba? Tumben ....” Rachan mengangkat sebelah alisnya sembari menatap Antara heran, mengabaikan buku bacaannya yang masih belum ia tutup. Antara masih berdiri di sebelah kasur Rachan.
“I’m bored.” Sekali lagi, dengan seenaknya Antara menjatuhkan tubuhnya keatas kasur.
“Menyebalkan.”
Antara kali ini mendudukkan dirinya sendiri, kemudian bertanya, “apa mau mulai sekarang?”
Rachan menganggukan kepalanya. Ia menutup bukunya, lalu menaruh atensi penuh pada hal yang akan dilakukan oleh Antara kedepannya.
“Oke, kamu pilih truth atau dare?” tanya Rachan memulai.
“Truth.”
Rachan pun memikirkan sesuatu untuk dijadikan pertanyaan, kemudian mendapatkannya. “Kenapa kamu mengajakku bermain truth or dare di malam hari seperti ini?”
Antara mendelik. “Sudah kukatakan, aku bosan.”
“Sekarang giliranku ya.”
“Baiklah, memilih truth atau dare?”
“Dare.” Rachan menjawab dengan malas.
Antara pun memikirkan suatu tantangan yang harus Rachan kerjakan, lalu ia mendapatkannya. “Kunjungi kastil milik Elizabeth Bathory, dan berkelilinglah hingga ke terowongannya!”
“HEI, APA-APAAN?!”
Antara tertawa pelan. “Itu? Tentu tantangan dariku.”
“Tapi kenapa harus itu—”
“Aku juga pernah mengunjunginya kok, jangan takut. Kamu pasti akan bisa kembali dengan aman.”
Rachan memutar kedua bola matanya dengan malas. “Baiklah, besok aku akan melakukannya. Tapi kau temani aku, ok? Sekarang tidurlah.”
Antara mengangguk, kemudian pergi meninggalkan kamar Rachan.
○●○
Cachtice, January 2020.
“Rachan, ayo masuk!” Antara menarik-narik pergelangan tangan Rachan menuju gerbang kastil yang diberi nama Cachtice itu dengan semangat.
“S-sebentar, aku takut ...,” lirih Rachan. Ia merasakan bahwa aura di sekitaran kastil ini terasa berbeda dengan aura biasanya. Ia melirik sebentar bangunan tua tak berpenghuni itu.
“Jangan takut, aku temani.”
Setelah berkata demikian, barulah mereka mulai memasuki area Cachtice. Jujur saja, pemandangan disana terbilang indah, hanya saja ... suhunya kelewat dingin.
Saat ingin memasuki kastilnya, Antara tiba-tiba berkata, “oh ya, di sini tidak ada peta penunjuk arah. Kita hanya bisa pintar-pintar saja menyusuri kastil ini.”
Dijawab anggukan kecil oleh Rachan, mereka mulai masuk ke dalam salah satu lorongnya. Mereka mendapati beberapa alat yang dipakai Elizabeth Bathory untuk membunuh para korbannya dahulu.
Jarum.
Kapak.
Pisau.
Dan benda tajam lainnya. Bahkan beberapa orang ada yang mengatakan bahwa Elizabeth bisa saja memukul, menggigit, membakar, memutilasi, dan membiarkan para korbannya kelaparan sampai mati.
Memikirkan hal itu membuat Rachan sedikit pusing, ia tidak fokus berjalan ke arah mana.
“Rachan, apa kau yakin kita akan masuk ke situ? Sepertinya ide yang bagus!” kata Antara.
Rachan tersadar dari lamunan pendeknya. “Eh, terowongan yang tidak diperbolehkan untuk masuk itu? Ah, baiklah.”
“Aku ikut di belakangmu ya.”
Rachan mulai memasuki ruang pengap tersebut. Auranya benar-benar sudah berbeda. Semakin maju ia melangkah, pun semakin gelap keadaan ruangannya.
Juga, semakin lama semakin tercium bau bangkai yang sepertinya masih baru. Rachan merasa sekarang keadaannya berubah menjadi janggal. Ia berusaha mencari bangkai tersebut.
“Dari mana asal bau ini ....”
Beberapa saat setelah ia berkata demikian, ia sampai di ujung lorong. Rachan dibuat mematung. Di depannya, ada mayat Antara yang hampir hancur.
Dan— di belakangnya, tak terdengar sama sekali langkah kaki Antara.
Rachan berbalik ke belakang; ia sekarang benar-benar ketakutan, Antara benar-benar sudah menjadi mayat di belakangnya.
Sebenarnya ada apa ...
Tak lama, ia merasa ada telapak tangan yang dingin luar biasa menyentuh pundaknya. Rachan menahan deru napasnya, kemudian ia membalikkan badannya.
SREK
“AARGHHHHHH!”
Sebuah jarum menusuk sebelah mata Rachan, ditekan kemudian merobeknya hingga ke pipi bawah. Darah mengucur deras, terutama dari bagian matanya.
Rachan jatuh terduduk dengan kondisi wajah yang hampir hancur.
“Existuje upozornenie, ktoré nevstúpi na toto miesto, ale prečo stále prichádzate?¹” Sosok itu menatap tajam kearah Rachan.
Tanpa menunggu jawaban, ia menendang kuat kepala Rachan hingga ia jatuh total. Kepalanya ia injak dengan cukup keras.
“Disident.²”
Sosok itu menggenggam sebuah kapak, siap memenggal kepala Rachan yang bahkan tidak tahu-menahu apapun.
Ia melayangkan kapaknya, dan—
KRIIINNGGGGGG!
“DON’T KILL ME PLEASE!”
Rachan terbangun dari tidurnya. Ia keringat dingin karena merasa sangat ketakutan. Oh, ia berada dalam kamarnya yang berada di— Slovakia?
Ia merasa pusing, dan pipi kiri nya terasa perih. Ia melirik ke arah bantal— disitu ada darah yang cukup banyak. Rachan terkejut bukan main.
Apa yang sebenarnya terjadi?!
Spontan ia menatap ke arah cermin, di wajahnya terdapat luka panjang yang terletak di pipinya. Masih ada tetesan darah yang menetes dari luka tersebut.
Di tengah cermin itu, ada sebuah tulisan yang ditulis oleh darah.
Tentokrát ste prežili, nie ako Antara. Nabudúce môžete tiež zomrieť, hahaha!³
Budapest, Slovakia, January 2020.
Teka-teki sederhana terletak pada ucapan Antara di awal cerita ini bermula.
✧
Kalimat asing ☆
¹ : Sudah ada peringatan bahwa jangan masuk ke tempat ini, tetapi kenapa kamu tetap masuk?
² : Pembangkang.
³ : Kali ini kau selamat, tidak seperti Antara. Lain kali kau mungkin akan ikut mati, hahaha!
Comments
Post a Comment